Kisses Kitten.

Kisses Kitten.
from google

Labels

Tuesday, May 28, 2013

Satu Gigitan yang Menyadarkan

air hangat menenangkan kami, dan kami memang terpaku diam, apa yang harus kami lakukan terhadap negara ini ? ia menciduk air hangat, menumpahkannya di keningku dan aku tersadar.
"bengong muluk" ia mengusap pelan, punggungku tak lagi perih.
ia masih menatap tidak biasa kamar mandi ini, belagak dusun, padahal aku tahu rumah aslinya sama saja seperti ini, seperti ia rindu rumahnya di Bandung. aku tahu, aku penguntit sejatinya sejak dahulu. sementara ia tinggal sendiri di kota ini, terkecuali ketika SMP dan SMA ayah ibunya masih bekerja disini. 

kami bertemu dua minggu lalu, ketika aku kabur dari rumah, sebenarnya kabur membawa banyak alasan untuk itu, aku hanya muak dengan perilaku Endang dan ibu tiriku, terlalu duniawi, sementara ibuku hanya pasrah, ia mendukungku untuk kabur sebenarnya, hanya menyuruh Pram untuk mengawasi dari jauh, namun Pram memang harus tunduk kepada Endang. dalam pelarianku aku bertemu dengannya, setelah sekian tahun semenjak aku melanjutkan studi seniku di kota ini, dan ia -yang belakangan aku ketahui juga- melanjutkan seni di Bandung. ia menawariku tempat tinggal dan aku agak menolak.
"elu ngapain malu-malu" ia menunggu jawaban saat itu, di motor vespanya.
"lo balik kesini? " aku mengalihkan perhatian.
"baiknya kita ngopi, dah kangen gue" ia membawa koperku ke jok depan, ah ga muat.

kami bercerita banyak di kedai kopi langganannya, kedai tegal, kopi panas dan gorengan terlalu jalanan untuk anak sepertinya.
"kabur dari rumah gedongan lhu?" ia membuka percakapan
"iya, bosen, bapak, dan berita di koran itu" aku menunjuk koran,. ia mengerti
"udah tiga tahun ya semenjak kita lulus, dan sapi mulai langka"
"empat tepatnya, langka di makan masyarakat ya, elo dan gue makan juga kan?" aku hanya mencicip tempe goreng, ini enak, ini enak !
"Actually gue ga makan, nyokap bokap marah, jadi kami memang memutuskan ga makan sapi lagi"
ia memperjelas, ya ayah ibunya keluarga terpandang yang membela rakyat, bukan anggota partai, hanya dermawan.
"masa ga sanggup ke pizza?" aku menggoda
"bener-bener engga" mulutnya penuh pisang goreng.
kami hanya menonton tivi, berita-berita semakin meriah, semakin kotor
aku hanya menggigit bibirku. kami bertatapan.
"kenapa di gelung?" ia menanyakan gelung di kepala ini. aku hanya diam saja, rasa pertanyaan tidak penting menurutku.
"sorri ya, dulu gue sering bully lo hha, kangen gue" ia menonjok dadaku, aku terkejut ia terkekeh.
"kuliah apa?" pertanyaan lain
"seni, swasta sebenarnya maunya di Bandung" gue menjawab semangat
"oh nguntitin gue?" ia terkekeh lagi, ya bibirnya basah, karena memang begitu dan karena minyak gorengan.
"engga juga, iya juga, saingan" aku menyesap kopi yang murah ini, ah enak.
"gue udah lulus" ia menatap serius.
"gue bentar lagi, hmm kerja?" ia mengangguk.
"di majalah, seru loh" ia menambah kopi lagi menunjukan ID card tempatnya bekerja, majalah ternama, aku menganga
"nanti kalau gue lulus masukin gue kesana bisa?" godaan kedua. ia mengangguk serius.
"bisa, liat portfolio lo, bagus, gue promoin" ia mengunyah lagi, makannya banyak.

dan kemudian aku menyetujui untuk menumpang di tempatnya, aku membayar tentunya ia setuju saja, dan hari-hari berlalu seperti biasa saja, aku belajar ia bekerja, aku memasak ia memakannya. sampai suatu malam ketika kami menonton berita.
"lo mau belajar sesuatu?" umpannya, dan aku tidak mengerti
"pokoknya bermanfaat asyik, cihui" ia serius,
"boleh" aku menjawab
"tutup matanya."

seperti itu pertanyaan yang ia ajukan lagi saat ini, di kamar mandi luas ini, ia kembali bertanya dan aku menuruti.
"mau belajar ga?" 
aku menoleh, wajahku basah karena air dan uap, ia merapatkan badannya dan berbisik.
"tapi jangan bilang-bilang gue yang ajarin?" bisiknya
"tapi..."
"ssst, liat jendela"
ia menyibakkan rambutku, 
"those people, called it's a kiss, " ia mulai mengajari
"open your mouth, pas tros ouverte" ia membuka mulutku dengan jarinya.
"ensuite, comma ci" ia mendekatkan bibirnya, ia menjulurkan lidahnya, uap air membubung tinggi, ia berusaha mengajariku. bibirnya membuka, menyesap-nyesap perlahan dan pasti,
detik itu bisa siapa saja memergoki kami, namun bibirnya memang tangguh, dan dari satu menit ke menit selanjutnya hanya suara desahan yang ada, datang dari satu lumatan ke banyak, beratus lumatan, wajahnya sendu, semacam rindu, kasihan, dan nafsu. 
"kok berhenti" aku protes.
"udah jago ah, ga asik" ia melepas dekapan, membuka botol sabun kemangi di pinggiran. menuangkannya.
"sini" ia menarik lenganku, membasuh hati-hati punggungku.
"aku ga mau berhenti," aku menagih bibirnya, ia terkekeh.
"jangan" ia mengusap badanku, 
"kenapa?"
"tuh ada yang ngintip di luar"
ia memberikan kode, ternyata Pram melihat sedari tadi, aku sedikit malu
"sudah siap Pram?"
ia hanya berdehem, kemudian pergi.


kami menyantap daging itu di kamar mandi, agak aneh. ternyata bibi menyiapkan cold cuts, itu kesukaanku, aku menuangkan Chardonnay, ibuku harusnya menoleransi, ini koleksinya.
"buka mulutnya" aku menyuapinya, ia agak ragu, kemudian melahap.
ia menikmati, aku juga menikmati
"sudah rejeki" aku menambahkan, menyodorinya segelas Chardonnay. ia menyesap perlahan.
"Borjuis!" ia mengumpat kemudian.
"Borjuis yang kalah!" aku mengumpat juga.
kami menghabiskan makanan kami, bercumbu itu menyebabkan perut lapar ternyata. kami mandi lama sekali karena makanan yang di sajikan memang banyak, aku belum lagi makan sebanyak ini semenjak kabur.
"puas-puasin, kalau lo balik ke kamar gue, gue ga bisa nyediain segini banyak" ia memotong apel.
"lo juga puas puasin"
"bah gue ga rakus nyet!" ia mengunyah apelnya.
"bukan itu kok!" aku membela diri.
"terus?"
kemudian aku menindihnya, memburu bibirnya yang basah itu. melumatnya, ia menjawab dengan lumatan lainnya.
 

No comments: